“Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah,” kata Yesus, “sebab merekalah yang empunya Kerajaan Surga.” (Mat. 5:3) Kita hendaknya berhati-hati agar dapat memahami dengan benar arti kata-kata ini. Kesempurnaan Kristen sebenarnya tidak berarti menjadi miskin. Seseorang bisa menjadi miskin, bahkan secara sukarela, tanpa berbudi luhur dan tanpa menerima berkat apa pun darinya. “Kesempurnaan Kristiani,” jelas St. Thomas, “pada dasarnya tidak terdiri dari kemiskinan sukarela, yang hanya merupakan instrumen kesempurnaan. Oleh karena itu tidak dapat dikatakan bahwa di mana terdapat kemiskinan yang lebih besar, maka terdapat kesucian yang lebih besar. Kesempurnaan yang tertinggi dapat hidup berdampingan dengan kemiskinan yang disengaja, kekayaan yang besar, karena kita membaca bahwa Abraham kaya dan Tuhan berfirman kepadanya: 'Berjalanlah di hadirat-Ku dan jadilah sempurna.' (S.Th., 11-11, q.185, a.6 ad 1)
Maka, kesempurnaan tidak terletak pada kemiskinan, namun pada keterasingan dari harta benda duniawi. Entah kita kaya atau miskin, kita harus memiliki sikap tidak terikat ini jika kita ingin menjadi pengikut Kristus yang sejati. Tuhanlah yang menciptakan buah-buahan di bumi dan memberikannya kepada manusia. Ketika Dia menciptakannya, Dia merasa senang dengan pekerjaan-Nya dan menyatakan bahwa segala sesuatunya baik. Kejahatan terdiri dari penyalahgunaan barang-barang ini, yang pada dasarnya dimaksudkan untuk membantu kesempurnaan. Oleh karena itu, penting untuk menjaga tatanan hierarki yang tepat dari semua hal yang baik. Kita harus berhati-hati agar tidak memusatkan ambisi kita pada benda-benda duniawi seolah-olah benda-benda itu mampu menjadi tujuan hidup kita.